Sangoguna:Slaia/Ejaan Bahasa Nias

Belum lama ini saya melihat di media sosial satu pesan yang mengatakan bahwa keunikan bahasa Nias adalah huruf ö. Sayang hal ini tidak benar. Keberadaan huruf ö dalam bahasa Nias merupakan peninggalan sejarah. Dalam tulisan ini kita akan melihat bahwa huruf ö atau ŵ bukanlah sesuatu yang unik dan karena itu bukanlah merupakan ciri khas bahasa Nias. Namun dalam tulisan lainnya saya akan menampilkan beberapa fenomena bahasa Nias, yang bisa menjadi keunikan bahasa Nias.

Ketika Heinrich Sundermann mencetak terjemahan Kitab Suci ke dalam bahasa Nias lebih seratus tahun lalu (1911) dia berpedoman pada ejaan yang berlaku saat itu, yakni ejaan Van Ophuijsen, atau sering disebut juga ejaan lama atau ejaan zaman doeloe, yang berlaku pada zaman penjajahan sebelum Indonesia merdeka (1901-1947).

Dalam ejaan Van Ophuijsen huruf y ditulis j, j ditulis dj, c ditulis tj, sy ditulis sj, kh ditulis ch, u ditulis oe, e (dalam kata beli) ditulis e dan e (dalam kata enak) ditulis é. Selain itu kata ulang ditulis bersambung, tanpa tanda pemisah.

Heinrich Sundermann mengambilalih ejaan Van Ophuijsen tsb. namun mengubah huruf e menjadi ö dan é menjadi e. Kemudian dia mengintroduksi huruf ŵ untuk melambangkan bunyi w seperti dalam kata wawasan, sedang huruf w digunakan untuk melambangkan bunyi w dalam kata Wulan.

Seperti kita tahu setelah Indonesia merdeka ejaan Van Ophuijsen telah dibaharui beberapa kali, tepatnya 6 kali, mulai dari ejaan Republik sampai dengan Ejaan Yang Disempurnakan yang kelima (2022).

Dalam ejaan setelah Indonesia merdeka huruf j menjadi y, dj > j, tj > c, sj > sy, ch > kh, oe > u, é > e dan kata ulang ditulis dengan tanda pemisah.

Ketika Kitab Suci terjemahan Sundermann disesuaikan dengan ejaan yang disempurnakan, para pengambil keputusan waktu itu lupa untuk turut membaharui penulisan huruf ö dan ŵ.

Kita tahu bahwa bunyi yang dilambangkan oleh huruf ö sama dengan bunyi yang dilambangkan dengan huruf e dalam bahasa Indonesia. Misalnya bunyi e dalam kata "beras" sama dengan bunyi "böra".

Jadi seyogyanya huruf ö yang selama ini digunakan dalam bahasa Nias diubah menjadi e. Hanya pelambangan bunyi e dalam kata "ere" (imam) yang perlu mendapat pelambangan baru.

Dan dalam hal ini solusi Van Ophuijsen bisa diambilalih, sehingga kata ere bisa ditulis dengan éré, sedangkan kata börö ditulis dengan bere. Hal ini pasti akan memudahkan kaum muda membaca dan menulis bahasa Nias, karena mereka hanya belajar ejaan dan tata bahasa Indonesia di sekolah.

Catatan: Dengan cara serupa seharusnya huruf ŵ seharusnya turut dibaharui juga. Misalnya ŵ ditulis w seperti dalam bahasa Indonesia. Jadi baŵa (bulan) menjadi bawa, sedangkan w bisa menjadi ŵ atau v (seperti pengucapan w dalam dialek Nias Selatan).

Pendekatan ini misalnya telah diterapkan oleh Apollo Lase, yang menulis Kamus Nias-Indonesia (Penerbit Buku Kompas, 2011), serta Eduard Halawa (niasonline.net).

Jadi kembali ke pertanyaan awal tulisan ini: Apakah huruf ö dalam bahasa Nias unik atau merupakan ciri khas? Tidak. Bisa saja hari ini mereka yang berwewenang memutuskan untuk menukar huruf ö dengan huruf e dan huruf ŵ dengan huruf w seperti dalam bahasa Indonesia.

Dan karena tak ada institusi khusus bahasa Nias serta tak ada pula pusat pengembangan bahasa Nias secara ilmiah, maka setiap orang bisa menulis menurut apa yang telah dia pelajari di sekolah.

Penulis ini sendiri masih menggunakan huruf ö dan ŵ seperti diwariskan oleh Sundermann. Tetapi secepat ada konsensus baru, saya akan segera mengikutinya.

Saya yakin sebagaimana Sundermann berpedoman pada ejaan yang berlaku di masanya, demikian juga seyogyanya dia akan berpedoman pada ejaan yang berlaku dewasa ini (berarti EYD V) bila mencetak ulang Kitab Suci bahasa Nias.

Sementara menunggu pembaharuan huruf ö dan ŵ, saya sudah menerapkan penulisan kata ulang seperti dalam bahasa Indonesia. Maka saya menulis demikian: löwö-löwö, furu-furu, aomö-aomö, dlsb.

Bacaan bulö'ö