Sangoguna:Slaia/Wiki dan pelestarian bahasa Nias

Pada tahun 2022 Wikipedia/Wiktionary Nias memasuki tahun kedua eksistensinya. Kendati segala keterbatasan dan kekurangan kontributor, dalam waktu sesingkat itu jumlah tulisan di Wikipedia bertambah dua kali lipat dan jumlah entri di Wiktionary telah bertambah empat kali lipat. Sementara itu di Wikibuku, yang masih berada di inkubator, telah mencatat hampir 400 tulisan.

Tulisan berikut merupakan refleksi atas perkembangan sampai sekarang dan berdasarkan refleksi tsb. perspektif apa yang harus diadopsi oleh komunitas Wiki Nias. Dengan memiliki perspektif yang tepat komunitas bisa fokus, sehingga bisa memaksimalkan sumber daya terbatas yang ada.

Saya akan berargumen bahwa untuk konteks bahasa daerah seperti bahasa Nias, membangun Wikipedia dan Wikikamus tidaklah cukup. Untuk menjawab tantangan literasi digital dan isu kemunduran bahasa daerah seperti bahasa Nias, proyek Wikipedia dan Wikikamus mau tidak mau harus dilengkapi dengan Wikibuku. Hanya melalui revitalisasi bahasa, komunitas bisa berhasil membebaskan pengetahuan.

Tantangan bulö'ö

Pada masa ketika komunitas Wiki Nias masih dalam inkubator, tujuan utama adalah pelestarian bahasa Nias melalui dokumentasi, standardisasi dan promosi.[1] Namun melalui berbagai diskusi dan berbagai aktivitas, semakin jelas bahwa tujuan seyogyanya pengembangan dan bukan sekedar pelestarian alias penyusunan sebuah kamus.

Mengapa? Hal ini butuh sedikit latarbelakang.

1. Tak ada tulisan dan media berbahasa Nias bulö'ö

Selain dari teks Kitab Suci, yang diterjemahkan lebih seratus tahun lalu, Nias tidak memiliki tradisi tulisan dan juga tidak memiliki media berbahasa Nias. Hal ini membuat bahasa Nias tidak berkembang seiring zaman. Banyak hal yang kita miliki dan kita gosipkan dewasa ini, tak ada padanannya dalam bahasa Nias.

Akibatnya? Membebaskan pengetahuan dalam bahasa Nias dengan Wikipedia langsung terbentur tembok. Generasi muda Nias hanya belajar dan berpikir dalam bahasa Indonesia. Dan secara umum mereka berkomunikasi dalam bahasa Indonesia juga. Segala ilmu yang mereka pelajari tidak pernah mereka ungkapkan dalam bahasa ibunya sendiri.

Karena itu mereka misalnya tidak akan mampu menjelaskan apa itu penyakit diabetes di Wikipedia Nias. Bahkan mereka kesulitan menjelaskan segala sesuatu tentang adat Nias dalam bahasa Nias!

2. Efek samping Kritenisasi dan Indonesianisasi bulö'ö

Para misionaris Kristen pertama di Nias meyakinkan orang Nias bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan keagamaan asli orang Nias adalah penyembahan berhala. Karena itu muncul gerakan membakar berbagai patung leluhur (adu Nias) dan melarang praktek keagamaan asli Nias. Namun seperti di tempat lain juga, budaya dan bahasa terikat erat dengan agama dan praktek keagamaan.

Akibatnya? Seni seperti pahat/ukir dan musik Nias tidak berkembang. Padahal seni merupakan wahana pengembangan bahasa dan budaya. Hal ini mendorong ke alieanasi identitas, seperti diamati oleh antropolog Andrew Beatty dalam buku After the Ancestors: An Anthropologist's Story[2]

Indonesianisasi semakin menguatkan alienasi identitas ini. Orang Nias hanya belajar bahasa Indonesia di sekolah dan menggunakan bahasa Indonesia di pemerintahan. Berbagai konsep yang dipelajari di sekolah tidak diterjemahkan ke dalam bahasa Nias. Berbagai peraturan dan kebijakan pemerintahan tidak dituangkan dalam bahasa Nias. Hal ini membuat generasi muda Nias bukan hanya tidak fasih melainkan tidak mampu lagi berbahasa Nias. Tak heran banyak di antaranya yang bahkan menolak berbahasa Nias.

Karena kedua faktor ini tak ada buku, cerpen, novel, majalah, acara radio dan TV dalam bahasa Nias. Bagaimana orang bisa menemukan kosa kata baru atau menjadi terbiasa mengungkapkan ide dan konsep tertentu dalam bahasa Nias bila tak ada media untuk itu?

Referensi bulö'ö

  1. Program Pelestarian Bahasa Nias (2020-2025)
  2. Andrew Beatty, After the Ancestors: An Anthropologist's Story, Cambridge, 2015